Bacillus cereus

Bacillus cereus

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung bakteri atau mikroorganisme dan bahan kimia yang berbahaya. Makanan yang aman juga harus diolah dengan tata cara yang benar sehingga nilai gizi nya tidak rusak dan tidak bertentangan dengan kesehatan manusia.
Menurut UU No.7 tahun 1996 keamanan makanan didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah makanan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, kualitas makanan, baik segi bakteriologi, kimia, dan fisik harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme.
Kontaminasi bakteri pada makanan dapat terjadi pada bahan makanan, air, wadah makanan, tangan penyaji ataupun pada makanan yang sudah siap disajikan. Seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaja (2003), kontaminasi pada bahan makanan sebanyak 40,0%, kontaminasi air sebanyak 12,9%, kontaminasi makanan matang 7,5%, kontaminasi pewadahan makanan 16,9%, kontaminasi tangan 12,5%, dan kontaminasi makanan disajikan 12,2%. Hal tersebut menunjukkan kontaminasi paling banyak terdapat pada bahan makanan.
Keracunan makanan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan) adalah gejala yang disebabkan mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi mikroorganisme. Keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu infeksi makanan dan keracunan makanan. Infeksi makanan terjadi karena konsumsi makanan yang mengandung organisme hidup yang mampu bersporulasi di dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Sebaliknya,keracunan makanan tidak disebabkan tertelannya organisme hidup, melainkan akibat masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresikan ke dalam makanan. Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan asal hewan dan foodborne disease.
Foodborne disease adalah penyakit yang ditimbulkan akibat mengonsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi oleh bakteri patogen (Sjamsul, 2001). WHO (1997) mendefinisikan foodborne disease adalah penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi. Hampir 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan mengonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen (Winarno, 1997).
Berdasarkan penyebabnya foodborne disease dibagi menjadi dua macam, yaitu food infection dan food intoxication. Food infection dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme, sedangkan food intoxication disebabkan oleh termakannya toksin dari mikroorganisme yang tumbuh dalam jumlah tertentu pada makanan (BPOM RI, 2008).
Keracunan pangan terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu intoksikasi dan infeksi. Keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri patogen disebut intoksikasi. Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin apabila pangan ditelan. Salah satu bakteri patogen yang dapat mengakibatkan keracunan pangan melalui intoksikasi adalah Bacillus cereus.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik
Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam famili Bacillaceae. Spora Bacillus cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif, dan kebanyakan Gram positif mempunyai enzim proteolitik (Fardiaz, 1992).
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang besar (>0,9 μm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari dua dan mengelilingi seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus mampu tumbuh pada suhu 4 - 50oC, dengan suhu optimum 30 - 40oC.
Bacillus diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom         : Bacteria
Kelas               : Bacilli
Ordo                : Bacillales
Family             : Bacillaceae
Genus              : Bacillus
Species            : Bacillus cereus
   
   
Spora sangat tahan terhadap panas hingga dapat mencapai suhu 121oC.





Gambar 1. Bakteri Gram Positif Bacillus cereus
Bacillus cereus dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora yang dihasilkan relatif tahan panas, spora ini dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang dingin, sehingga kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel vegetatif relatif lambat.
Spora sel Bacillus cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan kejang perut, jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker, 2000).

Mekanisme pembentukan toksin
Bacillus cereus memanfaatkan karbohidrat sederhana, seperti glukosa, fruktosa, maltosa dan sukrosa untuk menghasilkan hidrogen dan produk asam. Bakteri Bacillus cereus mengubah glukosa pada makanan yang mengandung karbohidrat tinggi menjadi asam laktat yang menyebabkan bau busuk pada makanan.
Cara bakteri Bacilus cereus mengkontaminasi makanan yaitu dimulai dari spora bakteri ini yang menetap dan hidup di tanah selama bertahun-tahun yang kemudian kemungkinan terbawa oleh angin yang kemudian akan menempel pada makanan tersebut sehingga akan terjadi kontaminasi antara bakteri B.cereus dan makanan yang kurang terjaga higienitasnya disamping itu bila makanan berkarbohidrat tinggi jika dipanaskan terus menerus bakteri tersebut akan mengkontaminasi makanan tersebut. 
B.cereus membutuhkan glukosa untuk menghasilkan asam-asam organik (seperti asam asetat, asam laktat, asam format, asam suksinat), alkohol, senyawa karbonil, dan karbon dioksida sebagai hasil metabolismenya. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan. Bacillus cereus enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran sel karena adanya ion Ca2+ (Beattie dkk., 1999).
Contohnya :
Bakteri tersebut berasal dari tanah yang terbawa beras dan dapat bertahan hidup selama proses pemasakan karena dapat membentuk spora. Ketika nasi mendingin secara perlahan, spora-spora tersebut akan berkecambah, tumbuh, dan memproduksi racun emesis yang dapat menyebabkan muntah-muntah. Memanaskan kembali nasi sebelum disajikan tidak akan menonaktifkan racun tersebut ataupun membunuh semua sel bakteri, sehingga nasi menjadi tidak aman untuk dikonsumsi.

Tipe Keracunan
Keracunan akan timbul jika seseorang menelan makanan atau minuman yang mengandung bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah mengandung toksin tersebut. Keracunan makanan yang diakibatkan oleh B. cereus merupakan penamaan secara umum, walaupun ada dua tipe penyakit yang disebabkan oleh dua metabolit yang berbeda, yaitu:
a.       Penyakit dengan gejala diare (tipe diare)/ Long Incubation
Hal ini disebabkan oleh protein dengan berat molekul besar. Tipe ini merupakan tipe yang paling sering ditemukan kasusnya dan terjadi bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare, maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah yang terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar. Gejala keracunan makanan tipe diare yang disebabkan oleh Bacillus cereus mirip dengan gejala keracunan makanan yang disebabkan oleh Clostridium perfringens, yaitu diare berair dan kram perut. Rasa mual mungkin menyertai diare, tetapi jarang terjadi muntah (emesis). Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala ini tetap berlangsung selama 24 jam. Pada sebagian besar kasus gejala-gejala ini akan tetap berlangsung selama 12 – 24 jam tetapi untuk beberapa kasus akan lebih lama.
b.      Penyakit dengan gejala muntah (tipe emetik)/Short Incubation
Tipe ini diyakini disebabkan oleh peptida tahan panas dengan berat molekul rendah. Keracunan makanan tipe emetik ditandai dengan mual dan muntah dalam waktu 0.5-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Kadang-kadang kram perut dan/atau diare dapat juga terjadi. Umumnya gejala terjadi selama kurang dari 24 jam. Keberadaan Bacillus cereus dalam jumlah besar (lebih dari 106 CFU/g) dalam makanan merupakan indikasi adanya pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri secara aktif, dan berpotensi membahayakan kesehatan.
Tabel 1. Tipe keracunan penyakit akibat Bacillus cereus.

Epidemiologi
Bacillus cereus telah dikenali sebagai salah satu penyebab keracunan pada makanan sejak tahun 1955, sejak saat itu mikroorganisme ini telah menarik banyak perhatian dan menjadi salah satu penyebab keracunan pada pangan yang termasuk sering ditemukan. Sekitar 5% dari semua kasus keracunan pangan di Eropa tahun 1990 yang telah dilaporkan ke World Health Organization Survaillance Programme disebabkan oleh Bacillus cereus (WHO, 1990). Menurut data kasus jumlah minimal Bacillus cereus yang dapat menimbulkan keracunan pada pangan adalah sekitar 105 sel / gram pangan.
Dilaporkan  antara  tahun 1972  hingga  1986  ditemukan 52 kasus  penyakit yang  bersumber dari  kerusakan  makanan  diakibatkan oleh Bacillus cereus, tapi diperkirakan penemuan hanya 2% perwakilan dari sejumlah kasus yang  telah terjadi  selama periode  tersebut.  Kasus lainnya tidak  dilaporkan  biasanya  karena kasus tersebut tidak  dapat didiagnosa.  Kebanyakan  insiden makanan racun yang  disebabkan  oleh Bacillus cereus dikarenakan makanan yang  dimakan adalah  makanan  yang  telah  dingin  atau kesalahan  dalam penyimpanan.
Penyebaran bakteri Bacillus cereus sangat banyak  terdapat di  alam. Biasanya terdapat banyak  dalam  tanah.  Selain itu, bakteri  ini dapat menghasilkan  spora yang mampu hidup bertahun-­tahun sehingga  penyebaran sangat mudah terjadi, misalnya spora terbawa angin atau makanan yang tidak bersih misalnya. Penularan bahan makanan dapat bertindak sebagai agen penularan atau pemindahan mikroba yang mencemarinya. Pencemaran  bahan makanan ini dapat terjadi sejak proses produksi, pengolahan, transportasi, penyimpanan, distribusi dan sampai ke penyediaan hingga siap untuk dikonsumsi.
Pencemaran  bahan  makanan  oleh mikroba ini tidak  selalu menyebabkan perubahan yang nyata terlihat, terasa oleh lidah atau tercium oleh hidung si kosumen sehingga sering  timbul akibat yang dapat bersifat fatal. Pencemaran bahan makanan oleh mikroba dibagi dalam dua macam yaitu:
-          Infeksi saluran pencernaan oleh mikroba karena si korban menelan mikroba yang mencemari makanan dengan jumlah banyak
-          Keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin mikroba dalam makanan (intoksikasi oleh mikroba).
Bacillus cereus berada dimana-mana dank arena membentuk spora, dapat hidup di lingkungan selama bertahun-tahun. Bacillus cereus berbentuk batang besar, tergolong dalam gram positif dan bersifat fakultatif aerob. Bakteri ini akan membentuk rantai. Kebanyakan  anggota  spesies ini adalah  organisme saprofit yang  lazim  terdapat  dalam  tanah, air, udara, dan  tumbuh­ tumbuhan. Sel­-sel  khas berukuran  0,5­25 - 1,2­10 mm. 
Sering bersusun sepasang atau rantai dan melingkar. Termasuk bakteri yang menghasilkan spora dan beberapa bersifat motil. Dalam satu sel hanya terdapat  satu  spora. Sel-­sel mempunyai bentuk ujung yang berbentuk empat persegi dan tersusun dalam rantai panjang. Spora biasanya  terletak  di  tengah  basil yang  tidak  bergerak  dan  resisten terhadap  perubahan  lingkungan. Tahan terhadap panas kering dan desinfektan kimia tertentu selama waktu yang cukup lama, dan dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam tanah kering. Menggunakan sumber nitrogen dan karbon sederhana untuk energi dan pertumbuhannya.  Proses Invasi bakteri ini dimulai 1­5 jam setelah bakteri ini mengkontaminasi makanan. Bila  dibiarkan perlahan-­lahan, spora Bacillus cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase pertumbuhan atau selama sporulasi.
Berdasarkan laporan dari European Food Safety (2005) sekitar 1-33% dari keracunan makanan-ditanggung disebabkan oleh B. cereus. Bean dan Griffin (1990) melaporkan bahwa B. cereus berperan dalam 58 foodborne disease di Amerika Serikat dari 1973 -1987, mewakili sekitar 3% dari total wabah penyakit, kemudian ada 571 kasus keracunan makanan yag terjadi di AS (antara 1998-2002) adalah karena kontaminasi B.cereus. Sekitar 27.360 kasus penyakit karena makanan yang dilaporkan pada tahun 1997 berasal dari B. cereus (Mead dkk.,1999). Masa inkubasi rata-rata adalah 2 jam (kisaran: 1,5-3,5 jam). Gejala diselesaikan median 4 jam setelah onset (berkisar antara 1,5-22 jam).
Di Virginia pada 1993, pusat kesehatan masyarakat daerah setempat menerima laporan dari penyakit gastrointestinal akut. Hal tersebut dilaporkan dari sebuah pusat penitipan dimana 14 dari 48 orang mengkonsumsi nasi ayam goreng menunjukkan gejala gastrointestinal akut. Nasi goreng ayam disiapkan oleh restoran lokal dan beras dimasak satu hari sebelumnya dan didinginkan pada suhu kamar sebelum dimasukan ke dalam pendingin. Di pagi hari, nasi tersebut ditumis dalam minyak dengan potongan dimasak ayam diantar ke pusat penitipan pukul 10.30 pagi dan tanpa disimpan dalam pendinginan atau dipanaskan terlebih dahulu nasi tersebut disajikan pada siang hari (Todar, 2009)
Saat ini, beras dianggap sebagai makanan pokok paling penting bagi populasi manusia di dunia terutama di Afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah, Amerika Latin dan Hindia Barat. Sekitar 85% pengonsumsian dan produksi beras total dalam dunia berada di negara-negara Asia (Shoichi dkk., 1989). Oleh karena itu sangat penting untuk menjamin keamanan produk beras, terutama ketika dimasak produk disimpan sebelum dikonsumsi.
Kejadian keracunan makanan akibat B. cereus disebabkan karena pengolahan nasi yang tidak sesuai seperti yang telah dilaporkan. Dalam sebagian besar kasus telah disebutkan bahwa wabah foodborne yang berasal dari restoran Cina atau toko yang dibiarkan dalam keadaan mendidih hingga kering pada keadaan suhu ruang yang mati (Lee dkk., 1995). Di Korea, Bacillus cereus bertanggung jawab terhadap 15 wabah makanan-ditanggung (392 pasien) terhitung 5,5% dari total wabah pada tahun 2009 (Chang dkk., 2011).
Keracunan makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus bukanlah penyakit dilaporkan di sebagian besar negara, termasuk Australia dan Selandia Baru, hal ini karena data kejadian sangat terbatas dan umumnya bersifat ringan, durasi pendek dan gejala membatasi diri, selain itu karena jarang di uji di laboratorium rutin analisis dari sampel tinja.
Ada satu wabah yang dilaporkan pada penyakit fooborne B. cereus di Australia pada tahun 2011 dan juga wabah dilaporkan pada tahun 2010. Hal ini telah diperkirakan bahwa laporan B. cereus sebesar 0,5% dari penyakit foodborne disebabkan oleh patogen yang diketahui di Australia (Hall dkk., 2005). Di Selandia Baru ada satu wabah foodborne B. cereus yang dilaporkan pada tahun 2011, dan tidak ada wabah yang dilaporkan pada tahun 2010 (Lim dkk., 2012).
Di Uni Eropa ada 0,04 kasus yang dilaporkan dari penyakit food borne yang disebabkan oleh B. cereus dari 100.000 penduduk pada tahun 2011 (mulai dari <0,01-0,24 per 100.000 penduduk antara negara). Terjadi peningkatan dari tahun 2010 dimana ada kasus 0,02 kasus per 100.000 penduduk. B. cereus dilaporkan sebagai agen penyebab utama penyakit bawaan makanan di Belanda pada tahun 2006 (menyebabkan 5,4% dari penyakit food borne) dan di Norwegia pada tahun 2000 (menyebabkan 32% dari KLB bawaan makanan) (Wijnands, 2008). Scallen dkk., (2011) memperkirakan bahwa di Amerika Serikat (AS), B. cereus menyebabkan 0,7% dari penyakit food borne disebabkan oleh 31 patogen utama. Daging, susu, sayuran dan ikan telah menjadi jenis makanan yang dominan terkait dengan gejala diare. Sebaliknya, produk beras, kentang, pasta dan keju produk memiliki menjadi makanan utama yang terkait dengan gejala muntah.

Pengendalian dan Pengobatan
Dampak buruk dari B. cereus dapat dicegah makanan harus dimasak dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan yang dapat mencegah germinasi spora kemudian pendinginan yang cepat sehingga memberikan kejutan dan penyimpanan pada suhu refrigerator. B. cereus terdapat secara alami di tanah dan pada produk segar.
Dikarenakan jenis bakteri ini termasuk salah satu jenis bakteri yang mampu menghasilkan spora, maka beberapa pencegahan di bawah ini mungkin dapat mengurangi penginfeksian dari bakteri ini:
-          Mengonsumsi  nasi  yang  tidak  dingin.
-          Mendinginkan bahan-bahan makanan lain selain nasi yang dapat terkontaminasi oleh Bacillus cereus hingga ± 4°C. 
-          Menjaga  kebersihan  bahan makanan. 
-          Mengonsumsi  makanan  yang matang.
Pengobatan diare dapat dilakukan dengan sistem pengobatan simtomatik (menghilangkan rasa sakit) dan pengobatan kausatif. Untuk pengobatan kausatif kuman penyebabnya dimatikan dengan zat antibakteri. Tujuan dari pengobatan adalah mengurangi terjadinya penginfeksian terhadap manusia dari bakteri Bacillus cereus.

Metode Deteksi
Bacillus cereus dipastikan sebagai penyebab suatu kasus keracunan makanan, apabila:
a.       Hasil isolasi B. cereus menunjukkan bahwa strain-strain dari serotip yang sama ditemukan pada makanan yang dicurigai dan dari kotoran (feses) atau muntahan pasien,
b.      hasil isolasi bakteri dari makanan yang dicurigai, kotoran, atau muntahan pasien menunjukkan adanya sejumlah besar B. cereus dari serotip yang dikenal sebagai penyebab keracunan makanan,
c.       dengan cara mengisolasi B. cereus dari makanan yang dicurigai dan menentukan kemampuannya dalam menghasilkan enterotoxin (enterotoxigenicity) dengan uji serologis (untuk toxin penyebab diare) atau uji biologis (untuk tipe diare dan emetik). Pada tipe emetik, waktu yang cepat munculnya gejala segera setelah infeksi, didukung dengan beberapa bukti pada makanan, seringkali sudah cukup untuk mendiagnosis keracunan makanan tipe ini.
Metode deteksi uji biokimia
Pengujian kemampuan isolat memproduksi enterotoksin dilakukan dengan cara isolat B. cereus diinokulasi ke dalam brain heart infusion (BHI, Difco) dan diinkubasi pada suhu 32-35ºC selama 6-18 jam pada inkubator berputar (orbital shaking incubator, Firstek) dengan kecepatan 250 putaran/menit.
Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat karena memproduksi enzim (protease, amilase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan susu (Fardiaz, 1998). Bakteri ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air (Aw) 0.95 (Blackburn dan McClure, 2002).
Tabel 2. Karakteristik Bacillus cereus.
Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada agar darah (Blood Agar), pada suhu 35-37oC, selama ±24-48 jam akan membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7μm) dengan permukaan datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α- hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh area bersifat β-hemolitik.
Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu, mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk mendukung pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengandung pati merupakan sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2003).
Ekstrak daging sapi dan pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus cereus (Batt, 2000). Uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk Bacillus cereus dan reaksi metabolisme yang mampu memfermentasi glukosa dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji voges proskauer dan motilitas (Harmon dkk., 1992).

Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA
a.        Tahap Persiapan Sampel
1.      Persiapan media
Galur referensi yang digunakan merupakan jenis bakteri Gram positif, Bacillus cereus ATCC 11778 dan Bacillus subtilis ATCC 6633 NCTC 10400. Bakteri-bakteri tersebut ditumbuhkan di Trypticase Soy Broth (TSB) (Merck) pada suhu 37°C. Sel bakteri dihitung dengan perhitungan cawan sebar (USFDA, 2001) pada media agar spesifik Mannitol Yolk Polymixin Agar (MYPA) (Oxoid) dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 48-72 jam.
Tahap pengkulturan sangat penting dilakukan untuk menyediakan kecukupan jumlah bakteri B. cereus awal yang hendak diinokulasi. Pengkulturan dilakukan dalam medium cair Trypticase Soy Broth (TSB), yaitu medium yang berfungsi membiakkan bakteri atau memperkaya bakteri karena memiliki nutrisi yang menunjang pertumbuhan bakteri. Kultur murni bakteri B. cereus digunakan untuk menentukan limit deteksi kultur murni dan menghasilkan kurva standar. Pengkulturan bakteri dilakukan pada medium TSB dan medium BHIB. Setelah dicawankan ternyata pertumbuhan bakteri lebih baik pada medium BHIB. Oleh karena itu, sebaiknya untuk pengkulturan bakteri atau pun pengkayaan sebelum isolasi DNA menggunakan medium BHIB. Medium BHIB menyediakan lebih banyak nutrisi yang mendukung pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan TSB.
Media TSB termasuk media non-selektif sehingga semua bakteri dapat tumbuh. Apabila kerja tidak aseptik, bakteri selain B. cereus dapat tumbuh. Oleh karena itu, untuk menjamin kemurnian biakan kultur murni B. cereus, uji morfologi untuk melihat keseragaman dan koloni tipikal B. cereus dilakukan dalam MYPA beberapa hari sebelum isolasi DNA hendak dilaksanakan.

2.      Persiapan kultur bakteri
Bacillus cereus disegarkan pada media TSB setiap 2 minggu sekali dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu 16°C. Untuk pengecekan kemurnian kultur, kultur B. cereus dalam TSB diinokulasi sebanyak 1 lup ke permukaan agar Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar (MYPA) padat dalam cawan petri steril. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA dengan suplementasi polymyxin B akan berwarna pink cerah dan dikelilingi zona presipitasi.
Apabila kultur murni yang dicawankan pada MYPA hanya membentuk koloni tipikal pink cerah dengan zona presipitasi di sekelilingnya, seperti pada Gambar 2, berarti kultur murni masih seragam dan tidak terkontaminasi bakteri lain sehingga dapat dilakukan isolasi DNA.

Gambar 2. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA + Polymyxin B
Media MYPA merupakan media selektif B. cereus. MYPA mengandung manitol yang tidak dapat difermentasi oleh B. cereus, namun oleh beberapa bakteri lain (misalnya B.subtilis dan S. aureus) dapat difermentasi. Penambahan kuning telur dapat memperjelas koloni tipikal dari B. cereus sebab kuning telur memiliki lesitin dan B. cereus menghasilkan enzim fosfatidilkolin hidrolase, fosfolipase C yang menghidrolisis lesitin. Dengan begitu, koloni tipikal B. cereus akan mendegradasi lesitin yang terlihat sebagai zona presipitasi di sekeliling koloni (Schraft dan Griffiths, 1995). Polymyxin B juga ditambahkan pada MYPA untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif.
Pengenceran serial 1:10 dari kultur murni B. cereus dan sampel nasi goreng yang diinokulasi secara artifisial bertujuan untuk menetapkan limit deteksi dari B. cereus yang diamplifikasi dengan real-time PCR. Secara teoritis, amplifikasi PCR memungkinkan deteksi hanya dengan 1 CFU/ml atau 1 CFU/g sampel pangan. Oleh karena itu, SPS diencerkan hingga enam tingkat pengenceran, dengan asumsi pada tingkat pengenceran keenam diperoleh konsentrasi bakteri 101-100 CFU/g.
Tujuan inokulasi ±106 B. cereus CFU/g secara artifisial pada sampel nasi goreng adalah untuk menjamin spesifisitas amplifikasi, di mana produk amplifikasi yang diharapkan terbentuk murni dari penempelan primer spesifik dan DNA target yang komplementer. Tujuan inokulasi tersebut juga dapat menggantikan waktu inkubasi khusus pada persiapan sampel sebab umumnya nasi goreng yang diinokulasi bakteri secara artifisial diberi tambahan waktu inkubasi untuk memperkaya jumlah sel bakteri patogen sehingga peluang DNA terdeteksi semakin besar. Pada penelitian PROM terdahulu (2008), sampel pangan diinkubasi pada suhu 30oC selama 4 jam untuk memperbanyak jumlah bakteri uji tersebut.
Namun, pada penelitian ini nasi goreng tidak diinkubasi terlebih dahulu sesudah inokulasi kultur murni B. cereus ke dalam nasi goreng. Hal ini dilakukan karena adanya asumsi pemeriksaan risiko kontaminasi bakteri patogen merupakan tindakan segera sesaat setelah pangan selesai diolah, sehingga waktu deteksi pun lebih cepat. Inokulasi nasi goreng secara  artifisial dengan kultur murni yang telah diinkubasi semalam dalam TSB telah cukup untuk menjamin diperolehnya DNA target bagi proses amplifikasi. Menurut Sambrook dkk., (1989), pertumbuhan bakteri mencapai fase log akhir setelah diinkubasi semalam. Fase log akhir merupakan saat yang optimal untuk memanen bakteri, di mana kuantitas DNA maksimal.

3.    Persiapan sampel pangan
Sampel pangan yaitu nasi goreng dibagi menjadi dua, masing-masing sejumlah 25 gram dan salah satunya diinokulasi B. cereus dengan konsentrasi 8.8 x 102 CFU/g (konsentrasi diperoleh dari perhitungan koloni dalam MYPA). Bagian sampel pangan yang tidak diinokulasi disebut sampel pangan (SP), sedangkan bagian yang diinokulasi secara artifisial dengan kultur murni B. cereus disebut sampel pangan spike (SPS). Baik SP (25 gram) maupun SPS (25 gram) dimasukkan ke dalam plastik steril yang masing-masing berisi 225 ml NaCl 0.85% dan dihomogenisasi dengan stomacher (30 detik, 230 rpm), lalu dituang ke dalam botol sampel.
Setelah itu, SP diambil 1 ml dan diisolasi DNA-nya, sedangkan SPS diencerkan hingga tingkat pengenceran 10-6 kemudian dari seluruh tingkat pengenceran  diambil 1 ml untuk diisolasi DNA-nya dan diambil 0.1 ml untuk diiinokulasikan pada MYPA dan dihitung koloni B. cereus yang tumbuh. Pengamatan dan penghitungan koloni dilakukan setelah MYPA diinkubasi (37ºC) selama 2 hari. Perhitungan koloni tipikal B. cereus mengikuti hitungan cawan (USFDA, 2001). Koloni tipikal B. cereus pada MYPA adalah koloni pink cerah dan dikelilingi zona presipitasi. Cawan yang digunakan untuk perhitungan ialah cawan dengan koloni tipikal berkisar antara 15-150 koloni.

b.        Tahap Isolasi DNA
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran diisolasi DNAnya dengan tiga metode, yaitu (1) Metode pendidihan, (2) Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform, dan (3) Metode ekstraksi dengan kit komersial. Metode pendidihan dan metode ekstraksi dengan fenol:kloroform digunakan untuk perbandingan hasil amplifikasi dengan kit komersial dalam uji sensitivitas dan spesifisitas. Berikut ini uraian prosedur kerja dalam ketiga metode tersebut.
1.    Metode pendidihan (Hein dkk., 2001 dengan modifikasi)
Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran (10-1-10-8) diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 500 μl buffer TE 1X sebanyak dua kali, disentrifus, kemudian pelet disuspensikan dengan buffer TE 1X dan lisozim, diinkubasi pada suhu ruang (25°C) selama 15 menit, ditambahkan proteinase K, setelah itu diinkubasi pada suhu 55°C selama 1 jam, kemudian dididihkan selama 15 menit, didinginkan dalam freezer (4°C) selama 30 menit, dan supernatan digunakan sebagai sumber DNA target.
Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan (Hein dkk., 2001) adalah waktu sentrifugasi dari 5700 g selama 15 menit menjadi 14000 g selama 10 menit untuk menjamin seluruh bakteri telah menjadi pelet, kemudian setelah pendidihan 100°C selama 15 menit, suspensi DNA tidak disentrifus, melainkan segera didinginkan dalam freezer (4°C) selama 30 menit untuk merenaturasi DNA yang telah terdenaturasi saat dididihkan.
2.    Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform (Sambrook dkk., 1989 dengan modifikasi)
Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran (10-1-10-8) diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus dan pelet diresuspensi dengan 500 μl buffer TE 1X sebanyak 2 kali. Setelah disentrifus, pelet diresuspensi dengan 500 μl buffer TE 1X dan 100 μl lisozim, diinkubasi pada suhu 4°C selama 5 menit. Kemudian ditambahkan 25 μl SDS 10%, 50 μl NaCl 5M, dan 100 μl proteinase K (20 mg/ml), divortex dan diinkubasi pada suhu 55°C selama 2 jam. Selanjutnya ditambahkan 500 μl fenol:kloroform (1:1 v/v), divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lapisan air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 500 μl fenol:kloroform (1:1 v/v), divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit.
Lapisan  air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 500 μl kloroform, disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lalu lapisan air bagian atas dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 0.3 kali volume lapisan air ammonium asetat 10M pH 7.4 dan isopropanol dingin 1 kali volume fase aqueous, diinkubasikan -20°C selama semalam, kemudian disentrifus 14000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya pelet ditambah dengan 500 μl etanol 70% dan disentrifus 12000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringudarakan, kemudian dilarutkan dalam 50 μl buffer TE 1X.
Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan (Hein dkk., 2001) adalah buffer lisis yang digunakan pada metode Sambrook dkk. (1989) pada 1 ml kultur bakteri diganti dengan buffer TE untuk menjaga tekanan osmosis bakteri, campuran buffer lisis pada Sambrook dkk. (1989) yaitu 100 mM NaCl, 500 mM Tris (pH 8.0), 10% sodium dodecylsulphate, dan 0.2 mg/ml proteinase K diganti dengan campuran buffer yang diberikan bertahap, terdiri atas 500 μl buffer TE 1X dan 100 μl lisozim untuk merusak dinding sel bakteri, kemudian ke dalam campuran buffer dan kultur bakteri ditambahkan 25 μl SDS 10%, 50 μl NaCl 5M, dan 100 μl proteinase K (20 mg/ml) untuk menghilangkan protein yang dapat mengganggu amplifikasi. Modifikasi juga dilakukan pada komposisi pelarut fenol:kloroform (1:1 v/v) sebagai ganti dari pelarut fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1 v/v/v). Kloroform biasanya ditambahkan dengan isoamil alkohol dengan perbandingan 24:1 untuk mengurangi busa yang terbentuk ketika ekstraksi. Campuran senyawa ini sering disebut CIAA (Chloroform Isoamyl Alcohol). Pelarut ini dimodifikasi karena keterbatasan pelarut isoamil alkohol. Fase aqueous dari ekstraksi dengan fenol:kloroform pada metode Sambrook dkk, (1989) ditambahkan 0.3 M Natrium Asetat pH 4.8, namun pada metode yang dimodifikasi garam yang ditambahkan adalah 10 M Ammonium Asetat pH 7.4 disesuaikan dengan garam yang tersedia.
Kedua garam tersebut berfungsi sama dan dapat saling menggantikan. Selain itu, etanol absolut pada metode Sambrook dkk. (1989) diganti dengan isopropanol karena isopropanol lebih cepat mempresipitasikan DNA, lalu waktu dan kecepatan sentrifus diganti dari 15 menit menjadi 30 menit untuk memperoleh pelet DNA karena waktu 15 menit tidak cukup untuk mengendapkan DNA di dasar tabung. Pelet yang dikering vakumkan diganti dengan cara dikeringudarakan karena keterbatasan instrumen.
3.     Metode ekstraksi sesuai panduan kit komersial
Sebanyak 1 ml kultur murni B. cereus dari delapan tingkat pengenceran masing-masing dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang terdapat dalam tabung dibuang tanpa merusak pelet, lalu ditambahkan 40 μL buffer lisozim dan segera divorteks selama 10 detik sampai sel bakteri benar-benar tersuspensi, kemudian suspensi tersebut ditambahkan 20 μL lisozim, divorteks dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar 25ºC, lalu disentrifus 5000 rpm selama 5 detik untuk mengumpulkan sampel di dasar tabung. Inkubasi dilanjutkan pada suhu kamar (25ºC) selama 5 menit. Kemudian 20 μL Proteinase K ditambahkan ke dalam sampel, lalu divorteks. Setelah itu, ditambahkan 10 μL buffer lisis, divorteks dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Suspensi diinkubasi pada suhu 550C selama 7 menit, divorteks selama 10 detik dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Proses inkubasi dilanjutkan pada suhu 55oC selama 8 menit, kemudian disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Lalu ditambahkan 5 μL RNAse-A, divorteks dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Sampel kembali diinkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan 500 μl buffer lisis, divorteks selama 10 detik dan inkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 5 menit. Setelah itu, cairan dipindahkan ke dalam kolom mini yang diletakkan di dalam collection tube dan disentrifus pada 15000 rpm selama 1 menit, lalu cairan pada collection tube dibuang dan kolom diletakkan pada collection tube. Sebanyak 500 μL buffer lisis ditambahkan ke dalam kolom mini dan disentrifus 15000 rpm selama 1 menit, kemudian cairan pada collection tube dibuang kembali dan kolom diletakkan kembali ke dalam collection tube.
Setelah itu, ke dalam kolom mini ditambahkan 500 μL wash buffer dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit, kemudian collection tube dan kolom mini dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus baru. Sebanyak 200 μL buffer elusi (700C) ditambahkan ke dalam matriks fiber dalam kolom mini, lalu diinkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 1 menit dan disentrifus pada 14000 rpm selama 1 menit. Cairan pada tabung mikrosentrifus digunakan sebagai isolat DNA.
c.         Tahap amplifikasi (Alarcon dkk., 2006 dengan modifikasi)
Sebanyak 2.0 μl isolat DNA, yang diperoleh dari 8 tingkat pengenceran untuk kultur murni, 1 tingkat pengenceran SP, dan 6 tingkat pengenceran SPS, digunakan sebagai templat untuk amplifikasi PCR. Isolat DNA (2.0 μl) dicampur dengan 9.5 μl RNAse free water, 12.5 μl SYBR Green supermix, 0.5 μl masingmasing forward dan reverse primer BceT. Volume total larutan adalah 25 μl.
Larutan tersebut diamplifikasi dengan kondisi, sebagai berikut: predenaturasi 95°C selama 10 menit, denaturasi pada suhu 95°C selama 10 detik dan penempelan pada suhu 55°C selama 30 detik (40 siklus) dengan thermal cycler iCycler IQ System, dilanjutkan dengan 80 siklus (suhu 55°C selama 10 detik) untuk menghasilkan melt curve yang digunakan dalam spesifisitas uji. Kondisi amplifikasi menurut Alarcon dkk. (2006) yaitu denaturasi pada suhu 95°C selama 15 detik dan penempelan pada suhu 60°C selama 1 menit dengan thermal cycler GeneAmp 5700 Sequence Detection System dimodifikasi menjadi kondisi seperti yang dijelaskan di atas untuk menyesuaikan dengan jenis primer dan thermal cycler yang digunakan sehingga amplifikasi dapat berlangsung.
Primer (forward dan reverse) BceT dianalisis dengan Basic Local Alignment Search Tool (BLAST, NCBI) untuk mengetahui spesifitasnya terhadap gen target. Urutan nukleotida sepasang primer tersebut adalah 5’-GAA TTC CTA AAC TTG CAC CAT CTC G-3’ untuk forward primer yang terletak pada urutan basa nukleotida 2208-2232 pada DNA kromosomal B. cereus dan 5’-CTG CGT AAT CGT GAA TGT AGT CAA T-3’ reverse primer yang terletak pada urutan basa nukleotida 1587-1611 pada DNA kromosomal B. cereus. Produk amplifikasi dari sepasang primer ini adalah 646 pasang basa.

d.        Evaluasi kinerja real-time PCR
Amplifikasi real-time PCR dilakukan untuk menetapkan limit deteksi kultur murni B. cereus dan limit deteksi B. cereus pada nasi goreng. Selain itu, real-time PCR dapat digunakan untuk menghasilkan melt curve. Kurva tersebut dipakai dalam spesifisitas uji. Kinerja real-time PCR dievaluasi dengan cara menetapkan limit deteksi, sensitivitas dan spesifisitas uji.
1.    Limit deteksi
Isolat DNA kultur murni dengan beberapa tingkat pengenceran diamplifikasi dan diperoleh nilai Ct dari masingmasing pengenceran serta kurva standar. Pengenceran tertinggi yang masih dapat teramplifikasi merupakan limit deteksi kultur murni B. cereus dalam penelitian ini. Kurva standar memberikan persamaan linear yang digunakan untuk mengukur limit deteksi B. cereus dalam sampel pangan. Persamaan linear kurva standar digunakan untuk menghitung konsentrasi bakteri yang belum diketahui dalam sampel pangan. Konsentrasi B. cereus pada sampel pangan nasi goreng dapat dihitung dengan memasukkan nilai Ct hasil amplifikasi sebagai nilai y pada persamaan linear, kemudian nilai yang diperoleh diantilogkan. Limit deteksi dengan real-time PCR memiliki satuan CFU/ml atau CFU/g. Oleh karena itu, setiap isolasi DNA dilakukan, pencawanan pada media selektif dari beberapa pengenceran juga dilakukan untuk mengetahui jumlah koloni pada kultur murni atau pun koloni pada sampel pangan.

2.     Spesifisitas uji
Primer BceT diuji spesifisitasnya dengan cara membandingkan melting temperature (Tm) dari puncak melt curve yang terbentuk antara amplikon yang diperoleh dari isolat DNA B. cereus dan amplikon yang diperoleh dari isolat DNA B. subtilis. Hasil amplifikasi (amplikon) yang spesifik ditunjukkan dengan nilai Tm yang sama pada puncak melt curve. Tm merupakan suhu peleburan di mana 50% DNA untai ganda telah terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Secara teoritis, Tm amplikon dari isolat DNA B. cereus dan B. subtilis berbeda karena DNA target merupakan DNA spesifik dari B. cereus.

Analisis Resiko
Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap kesehatan dan tingkat keparahan dari efek tersebut. Analisis risiko merupakan perkembangan terbaru dalam sistem keamanan pangan. Analisis resiko terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a)      Kajian resiko untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhinya,
b)      manajemen risiko untuk mengetahui bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan
c)      komunikasi risiko.
Kajian risiko dimulai dengan penetapan tujuan dilanjutkan dengan identifikasi bahaya, kajian paparan, karakterisasi bahaya, karakterisasi risiko, dan diakhiri dengan penulisan laporan resmi. Suatu kajian risiko yang baik pada umumnya juga mendeskripsikan analisis skenario dan analisis sensitivitas. Kajian paparan adalah evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui pangan atau sumber lain yang relevan.
Kajian paparan menentukan kemungkinan pengonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin terpapar pada konsumen melalui pangan. Kajian paparan terhadap agen mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan oleh agen tersebut atau toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan konsentrasi bahaya dapat digunakan (Summer, 2002).
Pada kajian paparan, evaluasi dilakukan tehadap bahaya mikrobiologis yang terdapat dalam produk pangan pada waktu dikonsumsi. Kajian paparan menyediakan pandangan ilmiah terhadap keberadaan bahaya pada produk yang dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi ketersediaan dan konsentrasi mikroba dalam suplai pangan konsumen dan lingkungan, dan kemungkinan jumlah bervariasi dalam pangan. Pada kajian paparan, Faktor-faktor yang terlibat pada tahap ini antara lain meliputi ekologi mikroba pada pangan, tingkat kontaminasi awal bahan mentah, prevalensi infeksi, variabilitas proses dan kontrol proses, serta metode dan kondisi pengemasan, distribusi dan penyimpanan pangan.
Respon dari sebuah populasi manusia terhadap paparan penyakit sangat bervariasi, mencerminkan fakta bahwa kejadian penyakit tergantung pada berbagai faktor seperti karakteristik virulensi patogen, jumlah sel tertelan, dosis kesehatan umum dan kekebalan tubuh status inang, dan atribut dari makanan yang mengubah mikroba. Dengan demikian, kemungkinan bahwa setiap individu akan menjadi sakit akibat paparan patogen dari makanan tergantung pada integrasi dari host, patogen, dan efek makanan matriks. Interaksi ini sering disebut sebagai segitiga penyakit menular.
Produk pangan pada umumnya tercemar oleh mikroba dalam jumlah yang rendah, sedangkan pada uji laboratorium (hewan percobaan maupun pada manusia secara sukarela) pada umumnya digunakan dosis yang relatif tinggi. Oleh karena itu diperlukan model matematis untuk mengekstrapolasi data yang berasal dari data dosis tinggi ke respon dengan dosis rendah. Beberapa model dosis-respon sudah diusulkan untuk mendeskripsikan hubungan antara tertelannya (ingestion) sejumlah tertentu mikroba patogen dan kemungkinan terjadi akibatnya.
Menurut (BPOM. 2005), adapun jenis dan batas maksimum cemaran dalam bahan pangan yang disebabkan oleh bakteri B. cereus adalah sebagai berikut.

Tabel 3.  Batas maksimum cemaran dalam bahan pangan yang disebabkan oleh bakteri B. cereus
No.
Jenis bahan pangan
Batas maksimum
1.
Tepung tapioka, tepung hunkwee, tepung kacang hijau, tepung singkong, tepung sagu, tepung jagung, tepung gandum, tepung beras
< 1 x 104 koloni/g
2.
Susu sereal bubuk
1 x 102 koloni/g
3.
Bihun, mi instan, mi kering, makaroni
1 x 103 koloni/g
4.
Mi basah, pasta mentah
1 x 103 koloni/g
5.
Tepung bumbu
1 x 104 koloni/g
6.
Tauco
1 x 103 koloni/g
7.
Sari kedelai
1 x 103 koloni/g
8.
Roti dan produk bakery tawar
1 x 102 koloni/g
9.
Dendeng sapi, daging asap yang diolah dengan panas
1 x 105 koloni/g
10.
Herba dan rempah-rempah
1 x 104 koloni/g
11.
Kondimen dan bumbu lainnya
1 x 102 koloni/g

Tabel 4. Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan Bacillus cereus
Parameter

Suhu
 < 40C (4-500C)
pH
<4,4 (4,4-9,3)
aw
<0,91
Jumlah Bacillus cereus yang ditemukan dalam susu segar pasteurisasi
< 10 organisme/100ml
Jumlah indikasi Bacillus cereus yang menyebabkan Foodborne disease
> 105 CFU/g
Konsentrasi pada makanan yang terkait dengan racun makanan Bacillus cereus
105 - 109 CFU/g






















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kontaminasi bakteri pada makanan dapat terjadi pada bahan makanan, air, wadah makanan, tangan penyaji ataupun pada makanan yang sudah siap disajikan. Keracunan makanan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan) adalah gejala yang disebabkan mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi mikroorganisme. Oleh karena itu, kualitas makanan, baik segi bakteriologi, kimia, dan fisik harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme.


















DAFTAR PUSTAKA

Batt, C.A. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. San Diego, Academic Press.
Bean, N.H. dan P.M. Griffin. 1990. Foodborne disease outbreaks in the United States:
            pathogens, vehicles, and trends. Journal of Food Protection. 53: 1973–1987
Beattie, S.H.  dan  A.G. Williams. 1999.  Detection of toxins.  Encyclopedia of Food
Microbiology. London, Academic Press.
Blackburn,  Clive de  dan  P.J. McClure. 2002. Foodborne Pathogen: Hazards, Risk
Analysis and Control. New York, CRC Press.
BPOM RI. 2005. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam
Makanan. Jakarta.
BPOM  RI.  2008.  Kajian dan  Penelusuran Mikroba  Patogen  PenyebabKeracunan
pada Pangan. Laporan Bidang Keamanan Pangan Pusat Riset Obat dan Makanan. Jakarta.
Brooks,  G.L., J.S. Butel, dan S.A. Morrse.  2005. Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 23.
Jakarta, Salemba Medika.
Chang,  H.J., J.H. Lee, B.R. Han,  T.K. Kwak, dan  J. Kim.  2011. Prevalence of the
Levels of Bacillus cereus in Fried Rice Dishes and Its Exposure Assessment from Chinese-style Restaurants. Food Science and Biotechnology. 20(5): 1351-1359.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fardiaz. 1998. Mikrobiologi Pangan. Bogor, Institut Pertanian Bogor Press.
Gibbs,  P.   2003.   Foodborne   Pathogens   Hazards,  Risk  Analysis   and   Control.
Cambridge, Woodhead Publishing Limited.
Granum, P.E. 2007. Bacillus cereus. Food microbiology fundamentals and frontiers.
3rd ed. Washington, ASM Press.
Hall, G,  M.D. Kirk, N. Becker, J.E. Gregory, L. Unicomb,  G. Millard, R. Stafford,
dan K. Lalor. 2005. Estimating Foodborne Gastroenteritis, Emerging Infectious Diseases. 11(8):1257-1264.
Harmon, S.M.,  J.M. Goepfert  dan R.W. Bennet. 1992. Compendium of Method For
The Microbiological Examination of Food. 3rd ed. Washington, American
Public Health Association.
Hein, I., A. Lehner, P. Rieck, K. Klein, E. Brandl, dan M. Wagner. 2001. Comparison
of Different Approaches To Quantify Staphylococcus aureus Cells by Real- time Quantitative PCR and Application of This Technique for Examination of Cheese. Applied and Environmental Microbiology. 67 (7): 3122–3126.
Lee,  P.K.,  J.A. Buswell,  dan  Shinagawa, K. 1995. Technical report: distribution of
toxigenic Bacillus cereus in rice samples marketed in Hong Kong. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 11: 696–698.
Lim,  E.,  L.  Lopez,  A. Borman,   P. Cressey,   dan R.   Pirie. 2012. Annual report
concerning foodborne disease in New Zealand. New Zealand, Ministry for Primary Industry.
Mead, P.S., L. Slutsker, V. Dietz, L.F. McCaig, J.S. Bresee, C. Shapiro, P.M. Griffin,
dan R.V. Tauxe. 1999. Food related illness and death in the United States. Emerging Infectious Disease. 5(5): 607-625.
Sambrook, J., E.F. Fritsch, dan T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory
            Manual. New York, Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Scallan, E., R.M. Hoekstra, F.J. Angulo, R.V. Tauxe, M. Widdowson, S.L. Roy, J.L.
Jones, dan P.M. Griffin. 2011. Foodborne illness acquired in the United States. Major pathogens. Emerging Infectious Diseases. 17(1):7–11.
Shoichi, I.E., F.P. Wesley, dan  R.G. Warren. 1989. Rice in Asia: Is It Becoming an
Inferior Good?. American Journal of Agricultural Economics. 71 (1): 32-42.
Sjamsul,  B.  2001.  Mewaspadai  cemaran  mikroba  pada  bahan pangan, pakan, dan
produk peternakan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 20(2):55-64.
The European Food Safety Agency Journal. 2005. Bacillus cereus and other Bacillus
spp. in foodstuffs. 175: 1-48,
Todar,   K.   2009.  The  Microbial  World  Lectures in  Microbiology. Department of
Bacteriology. Madison, University of Wisconsin.
Wijnands,  L.M.  2008.   Bacillus  cereus  associated food borne disease: Quantitative
aspects of exposure assessment and hazard characterization. PhD thesis. Netherlands, Wageningen University.
Winarno F.G. 1997.  Naskah Akademis Keamanan Pangan. FTDC (Food Technology
            Development Center). Bogor, Institut Pertanian Bogor.


Komentar

  1. Situs Terbaik Permainan Judi Taruhan Online, website judi dengan permainan terlengkap dan terbesar. .

    Bonus yang diberikan Agen BOLAVITA juga sangat banyak dan menguntungkan, baik member baru maupun member setia:
    💱 Bonus Welcome Back Rp 200.000
    💱 Bonus 10% untuk new member (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    💱 Bonus 5% Deposit Harian (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    💱 Bonus Deposit Harian 10% untuk permainan BOLA TANGKAS
    💱 Bonus Referral 7% + 2%
    💱 Bonus Rollingan 0.5% + 0.7%
    💱 Diskon Togel KLIK4D & ISIN4D up to 66%
    💱 Bonus Cashback 5% - 10%
    💱 Bonus Cashback Bola Tangkas 10%
    💱 Bonus Flash Deposit Setiap Jumat 10%
    💱 Bonus Extra BIG MATCH 20%

    Agen BOLAVITA menyediakan permainan yang sangat lengkap, berikut permainan yang disediakan:
    • Bola Tangkas (Tangkasnet, Tangkas88 dan Tangkas1)
    • Casino Online (WM Casino, Green Dragon dan SBOBET Casino)
    • Sabung Ayam (S128, SV388 dan Kungfu Chicken)
    • Taruhan Bola (SBOBET, MAXBET/ICB Bet dan 368 Bet)
    • Togel Online (KLIK4D dan ISIN4D)
    • Poker Online (POKERVITA)
    • Games Virtual / Slot Games (Joker dan Play1628)

    Daftar, main dan raih kemenangan Anda bersama kami di http://159.89.197.59/

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    LINE : cs_bolavita
    TELEGRAM : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distokia pada Sapi

Mycoplasma